Menyoal Pemilu dari Kacamata Linguistik Forensik
By Nur Inda Jazilah - April 28, 2019
Sudah beberapa hari lalu sebenarnya saya ingin menulis tentang ini, tapi apalah daya tuntutan mahasiswa − yang masih ngutang banyak paper dan baru selesai satu. Kemudian saya merasa jumawa, padahal thesis belum mulai nulis, malah nulis ini. Menemukan slot waktu untuk menulis receh ini dengan nyaman adalah godaan.
Ide dari tulisan ini sebenarnya berawal dari ke-mager-an pada suatu pagi, yang kemudian saya habiskan untuk scrolling linimasa Twitter. Kala itu masih ramai tentang hasil hitung cepat serta klaim kedua pasangan capres-cawapres, juga tentang beban kerja panitia pemungutan suara yang dirasa tidak manusiawi. Lantas, apakah keputusan untuk melakukan pemilu secara serempak patut dikaji ulang, mengingat banyaknya korban meninggal dunia akibat beban kerja berlebih sebagai panitia? Mungkin.
Lalu saya teringat periode awal semester lalu, saya mengikuti mata kuliah Forensic Linguistics 3: Language of Government and Business − henceforth FL3. Mata kuliah wajib di jurusan saya, RM Humanities, dengan spesialisasi Forensic Linnguistics. Selain FL3, dua mata kuliah wajib lainnya adalah Forensic Linguistics 1: Why the Law Needs Language and Linguists dan Forensic Linguistics 2: Authorship Analysis. Jadi, mata kuliah FL saya cuma tiga gaes, ditambah dua tutorial, jumlahnya lima mata kuliah tentang FL Image credit to https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/09/06/sejarah-pemilu-di-indonesia |
Mata kuliah FL3 sangat menarik − semua mata kuliah FL memang menarik bagi saya karena saya murah, gampang buat tertarik haha. Selama satu periode panjang, kira-kira dua bulan, kami banyak membahas kasus-kasus yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam hukum dan bisnis. Beberapa di antaranya, yang masih saya ingat, (1) kasus seorang dosen yang menuntut perusahaan asuransi karena polis asuransinya ndak jelas, (2) kasus Chanel yang menuntut snack bar di Jepang karena pemiliknya menamai snack bar-nya dengan Chaneru, (3) analisis formulir pendaftaran ke perusahaan asuransi, (4) analisis buku manual barang elektronik dan naratif iklan, sampai dengan (5) masalah hak paten Specsavers atas kata should've (iya, hati-hati ya kalau menggunakan should've untuk urusan komersial, siapa tau kamu mau bikin lirik lagu yang ada should've-nya, ya gapapa, aku bisa jadi linguistic expert-nya haha).
Singkat cerita, tugas akhir dari mata kuliah FL3 adalah a 5000-word paper (biasa, anak research master, mana pernah ujian? Nulis paper, sering 😖). Setelah brainstorming dan berdiskusi, akhirnya saya memilih kasus tentang pemilu serentak kaitannya dengan UUD pasal 6A (2) dan 22E (2). Berikut ini adalah pasal-pasal tersebut:
- Pasal 6A (2)
Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum (***)
- Pasal 22E (2)
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
To be honest, saya butuh tiga kali atau mungkin lima kali waktu itu untuk dapat memahami kalimat dalam pasal 6A 🤣 Do you feel the same? Memang begitulah adanya legal language, cenderung lebih susah untuk dipahami dibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Gibbons (2003) menjelaskan bahwa, dilihat dari segi linguistik, ada empat ciri dari legal language. Keempat ciri ini disebutnya dengan 'canons of construction' meliputi (1) 'same meaning same form' dimana seharusnya tidak ada varian stilistika untuk sebuah kata, (2) 'ejusdem generis' yang mengharuskan sebuah daftar terdiri dari entitas yang homogen, (3) 'expressio unius est exclusio alterius' yang berarti bahwa hal-hal tertentu dianggap dikecualikan jika tidak dimasukkan secara eksplisit, dan (4) 'noscitur sociis' dimana interpretasi seharusnya berbasis pada linguistik dan aspek tekstual-kontekstual (pp. 48-49. Untuk penjelasan lebih detail dapat ditemukan dalam bukunya.
Menganalisis dua pasal ini, komentar dosen saya kurang lebih sepert ini, "kamu ambi banget, ini yang dianalisis konstitusi loh, yang berdampak pada human rights orang-orang Indonesia, their right to vote." Aku mah senyum-senyum aja dibilang ambi
Pasal 6A memang dapat dimengerti, tapi tidak dalam satu kali baca − at least ini pengalaman saya dan beberapa teman saya. Mengapa demikian? Pertama, pasal ini ditulis dalam bentuk konstruksi pasif dimana sudah jamak diketahui bahwa kalimat pasif memberikan cognitive load lebih banyak daripada kalimat aktif. Cognitive load inilah yang membuat kalimat pasif cenderung lebih sulit dipahami dibandingkan dengan kalimat aktif. Kedua, adanya an embedded clause within a clause. Coba perhatikan paruh kedua kalimat pasal 6A tersebut. "oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum", frasa ini menunjukkan the doer − yang melakukan pengusulan, the requirement − peserta pemilihan umum, and the time − sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Lantas, pemilihan umum yang mana yang dimaksud?
It turns out that pemilihan umum itu merujuk ke satu entitas, mau milih legislatif mau presiden namanya pemilu. Buktinya? Ada di pasal 22E (2) yang berbunyi "pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah." Ada, paling tidak, dua kemungkinan interpretasi terhadap pasal ini.
Pertama, pemilu adalah untuk memilih (1) DPR, (2) DPD, dan (3) Presiden-Wapres dan DPRD. Akan tetapi jika menggunakan interpretasi ini, seharusnya dibubuhkan konjungsi 'dan' sebelum kata Presiden.
Kedua, pemilu adalah untuk memilih (1) DPR, (2) DPD, (3) Presiden-Wapres, dan (4) DPRD. Susunan kalimat ini akan lebih mudah dipahami dengan menambahkan 'koma' sebelum frasa 'dan Dewan Perwakilan Daerah'.
Iya, ada tidaknya koma memang bisa menimbulkan perselisihan makna dan interpretasi. Jadi, wajar saja jika ada yang berperndapat bahwa pemilihan presiden-wapres dan DPRD dalam satu atau sebaliknya. I'm not a constitutional law expert tho.
Lalu, saya bertanya-tanya, kenapa selama ini ada pembedaan penyebutan pileg dan pilpres jika di UUD pemilu itu merujuk ke semua pemilihan umum tanpa membedakan satu dan lainnya? I've no idea why.
Berangkat dari dua pasal di atas, kesimpulannya adalah legal drafters sebaiknya mempertimbangkan untuk melibatkan linguis dalam legal drafting. Memang kami tidak akan mengerti secara substansi, mengenai teori hukum konstitusi dan hukum lain yang berhubungan. Akan tetapi kami, forensic linguists, telah terlatih untuk lebih peka terhadap penggunaan bahasa sampai ke satuan terkecil seperti penggunaan tanda baca. All in all, keterlibatan linguis dalam legal drafting tak lain adalah untuk membantu mengurangi tingkat multi-interpretasi dari bahasa hukum. Sekarang jamannya kolaborasi, kan?
PS: Kedua pasal dalam tulisan ini juga dibahas dalam salah satu kegiatan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Amsterdam yang bertajuk Amsterdam Forum. Pada waktu itu, forum ini membahas penistaan agama, makar, dan pemilu dari perspektif hukum, komunikasi, dan linguistik forensik. Siarannya dapat ditonton di kanal Youtube PPI Amsterdam (http://bit.ly/AmsterdamForum2).
Referensi
Number 14/PUU-XI/2013 (The Constitutional Court of the Republic of Indonesia, 2013)
Amsterdam
Gibbons, J. (2003). Forensic Linguistics: An Introduction to Language in the Justice System.Oxford: Blackwell Publishing.
Kasus Number 14/PUU-XI/2013 (The Constitutional Court of the Republic of Indonesia, 2013)
Amsterdam
April 28, 2019
23.30 CEST
Menulis terasa lancar paska mendapatkan energi dari semangkuk bakso
0 comments