Overview
Adakah hubungan antara Bahasa dan hukum? Jawabnya, tentu ada. Hubungan ini dieksplor lebih jauh dalam forensic linguistics yang merupakan salah satu cabang ilmu di bawah payung applied linguistics. Forensic Linguistics adalah studi tentang aplikasi pengetahuan bahasa ke dalam konteks hukum. Berawal pada tahun 1968, Jan Svartvik menggagas istilah forensic linguistics[1] setelah melakukan analisa kuantitatif sederhana pada laporan pengakuan yang dibuat oleh Timothy Evans. Evans diduga membunuh istri dan bayi perempuannya, hingga akhirnya dihukum mati. Tiga tahun setelahnya, Svartvik menemukan kejanggalan setelah menganalisa empat pengakuan Evan di Notting Hill. Svartvik menemukan ketidakcocokan dalam stilistik dalam keempat pengakuan tersebut (Ondrácek, 1970). Dua diantara keempat pengakuan tersebut menggunakan banyak klausa dan elipsis subyek yang merupakan ciri dari bahasa tulis[2]. Pada akhirnya ditemukan bahwa dua pengakuan yang berbeda ini adalah hasil dikte dari pembunuh yang sebenarnya.
Areas of Forensic Linguistics
Coulthard, Johnson dan Wright (2017) membagi ranah kajian forensic linguistics dalam tiga bagian: 1) language of the law atau bahasa hukum, 2) language of the legal process atau bahasa dalam proses hukum, dan 3) language as evidence atau bahasa sebagai alat bukti.
Area kajian pertama, language of the law berisi kajian-kajian tentang bahasa yang digunakan dalam hukum, misalnya undang-undang, statuta, atau kontrak. Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa hukum termasuk bahasa yang njelimet dengan sintaksis kalimat yang berbeda dengan kalimat yang biasa digunakan sehari-hari. Salah satu contoh kasusnya adalah ketika Setya Novanto mempermasalahkan apakah Sudirman Said sebagai seorang menteri berhak melaporkan Setya. Dalam pemecahannya, Yayah Bacharia membantu pengadilan dengan memberikan kesaksian sebagai ahli bahasa[3].
Area kajian yang kedua adalah language of the legal process yang fokus pada studi tentang interaksi yang terjadi selama proses hokum berlangsung, baik di persidangan maupun di kantor polisi. Studi di area ini dapat berupa analisa proses komunikasi selama persidangan baik antara hakim, jaksa, tersangka, maupun korban. Atau, analisa terhadap proses interogasi antara polisi dengan pelapor. Beberapa contoh kasus dalam area ini adalah kasus Vicky Pollard dan Tony Blair. Penjelasan kasus Vicky Pollard dapat dinikmati dengan menonton tv series yang disiarkan oleh BBC, berjudul Little Britain. Sedangkan untuk kasus Tony Blair, ia sengaja menyalahi maxim of quantity selama proses interogasi untuk menunjukkan kuasanya sebagai seorang perdana menteri (Wahyudi, 2012).
Area kajian yang ketiga, language as evidence dimana ahli bahasa dapat menganalisa bukti bahasa yang tertinggal dalam satu kasus, baik kasus pidana maupun perdata. Kasus paling fenomenal dalam area ini adalah the Unabomber case yang juga menjadi milestone dari kajian forensic linguistics. Adalah seorang anggota FBI, James Fitzgerald, yang memecahkan kasus serial pengeboman di beberapa kota dan universitas di Amerika selama 1978 sampai 1995. Ia memecahkan kasus tersebut berfokus pada idiolect atau linguistic fingerprint yang ditemukan setelah membandingkan Unabomber’s manifesto dan surat-surat pribadi tersangka kepada keluarganya. Netflix telah membuat serial dokumenter tentang kasus ini, berjudul Manhunt.
Contoh kasus lainnya adalah Patrick Juola, seorang computational linguist, menemukan bahwa Robert Galbarith, penulis The Cuckoo’s Calling, adalah orang yang sama dengan JK Rowling, penulis Harry Potter. Juola (2008) menerapkan metode authorship attribution menggunakan stylometry untuk mengukur style bahasa penulisan pada novel The Cuckoo’s Calling dan beberapa serial Harry Potter. Satu lagi yang tak kalah mencengangkan adalah bahwa The Frost King yang ditulis oleh Hellen Keller adalah hasil plagiasi dari tulisan Margaret Canby yang berjudul Frost Fairies. Saya pribadi melakukan analisa kuantitaif sederhana pada kedua cerita tersebut dan menemukan bahwa Hellen memplagiasi tulisan Margaret, terbukti dari kesamaan kosa kata dan frasa pada kedua cerita tersebut, juga plot cerita yang 80% sama.
The Role of Forensic Linguists
Pada praktiknya, seorang linguis forensik bisa menjalankan satu dari dua peran, yaitu sebagai consult expert atau expert witness (saksi ahli) (Jazilah, 2016). As a consult expert, praktisi hukum atau polisi biasanya meminta forensic linguists sebagai konsultan terkait kasus yang mereka tangani. Sebagai contoh, pada bulan Februari lalu, saya dan beberapa teman se-departemen diminta oleh supervisor untuk membantu memecahkan kasus email threats yang masuk di salah satu perusahaan di Belanda. Sebagai seorang saksi ahli, biasanya seorang linguis diminta untuk memberi kesaksisan di pengadilan. Sekalipun menjadi saksi ahli atau consult expert, tidak menutup kemungkinan mereka memberikan kesaksian atau expert report yang tidak semestinya. Hal ini terjadi dalam kasus Ahok tahun lalu, dimana dalam persidangan dua saksi ahli bahasa menyampaikan laporan yang berbeda mengenai analisa mereka atas kasus tersebut[4]. Ini ironis, dimana seharusnya para saksi ahli menyampaikan pendapat yang sama tetapi kenyataaannya tidak demikian. Kejadian seperti ini menjadi teguran tersendiri bagi forensic linguists dimana metode analisa mereka masih sering dipertanyakan di pengadilan.
Bahasa Hukum di Indonesia
Sebagaimana diketahui khalayak bahwa KUHP Indonesia adalah hasil terjemahan dari hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Versi asli bahasa Belanda ini dipakai sampai tahun 1950, sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh pelajar-pelajar Indonesia yang belajar hukum di Belanda. Proses penerjemahan ini berlangsung selama tiga dekade, mulai tahun 1950 sampai 1980. Akan tetapi, pada pelaksanaannya penerjemahan ini dilakukan oleh beberapa orang. Hingga saat ini, ada banyak versi terjemahan KUHP dengan terjemahan yang berbeda. Para sarjana hukum juga menggunakan versi terjemahan ini tergantung dimana mereka mengenyam pendidikan. Sebagai gambaran, mereka yang belajar hukum di UI akan merujuk pada translasi yang berbeda dengan mereka yang studi di UGM misalnya. Purnama (personal communication, April 24, 2018) berpendapat bahwa hal semacam ini sering menjadi masalah ketika dalam pengadilan, ada kemungkinan bahwa dua pengacara yang berasal dari universitas berbeda, akan menafsirkan satu pasal secara berbeda pula.
Yang menarik tentang hubungan bahasa dan hukum dalam konteks Indonesia adalah kasus seorang perempuan mantan anggota Republik Maluku Selatan (RMS) yang diganjar hukuman 2,5 tahun dengan tuduhan makar. Kata makar dalam pasal 87 KUHP, dalam versi bahasa Belanda-nya adalah aanslag yang sama artinya dengan onslaught atau violent attack. Jika menilik kembali arti kata makar dalam KBBI memiliki tiga arti diantaranya (1) tipu muslihat, (2) perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, dan (3) perbuatan menjatuhkan pemerintah yang sah. Namun perlu diingan bahwa kata makar ini beraslah dari kata bahasa Arab al-makr yang berarti tipu muslihat5. Pada kenyataannya, perempuan anggota RMS tersebut hanya mengibarkan bendera RMS dalam upacara pembaptisan. Adakah violent attack dalam pengibaran sebuah bendera? Adakah tipu muslihat dalam satu upacara? Maka, arti kata makar manakah yang dirujuk oleh Mahkamah Agung dalam kasus ini hingga putusan hukuman 2,5 tahun penjara dijatuhkan? It’s wild and mind-blowing, isn’t it? Studi lebih lanjut diperlukan tentang kasus ini –tentang bagaimana proses translasi yang tidak tepat dapat mempengaruhi proses decision making hakim, juga tentang apa yang dapat dilakukan linguis untuk bisa berkontribusi dalam penegakan hukum di Indonesia.
-------------------------------------
[1] The corpus linguist who invented the term “forensic linguistics” (Seorang linguis korpus yang menemukan istilah forensic linguistics) can be accessed here.
[2] Svartvik’s analysis can be accessed here.
[3] Berita secara lengkap dapat diakses disini.
[4] Berita lengkap mengenai kasus ini dapat diakses disini.
[5] Selengkapnya bisa dibaca disini.
Works Cited
Coulthard, M., Johnson, A. and Wright, D. (2017). An Introduction to Forensic Linguistics: Language in Evidence. New York: Routledge.
Jazilah, NI. (2016). Forensic Linguists Should be Hired in the Legal System for the Sake of Their Assistance in Investigating into Criminal Cases, Proceedings of the Conference on Language Analysis from the Perspective of Forensic Linguistics (pp. 455-460). Bandung: Indonesia University of Education. Read full paper here.
Juola, P. (2008). Authorship Attribution. Foundations and Trends in Information Retrieval. vol 1. n.3. NOW Publishers.
Ondrácek, J. (1970). The Evan’s Statement, a Case for Forensic Linguistics. Available online here.
Wahyudi, R. (2012). Introduction to Applied Linguistics: Forensic Linguistics. [Lecture PowerPoint slides].
0 comments