Belakangan ini publik ramai membicarakan gaya tutur ‘Anak Jaksel’— membahas tentang stereotip anak gaul di Jakarta bagian selatan yang sering menggunakan beberapa kata atau frasa dari Bahasa Inggris kedalam komunikasi sehari-hari. Publik melabeli mereka dengan pribadi-pribadi yang keminggris. Pada dasarnya, fenomena mencampuradukkan bahasa ini bukanlah hal baru. Dalam ilmu linguistik, fenomena ini disebut dengan code-switching atau code-mixing yang dalam Bahasa Indonesia berarti alih kode. Studi Sosiolinguistik – yang notabene mengkaji tentang bagaimana bahasa digunakan dalam masyarakat – mendikusikan lebih jauh tentang fenomena alih kode ini.
![]() |
Image credit to alinea.id |
Wardaugh (2006) berpendapat bahwa alih kode mungkin muncul atas pilihan individu atau digunakan sebagai penanda identitas untuk sekelompok orang yang terbiasa menggunakan lebih dari satu bahasa dalam keseharian mereka. Mengingat Indonesia adalah negara multi-etnis yang memiliki total 719 bahasa[1], tak jarang menemukan orang Indonesia yang berbicara dalam dua bahasa (bilingual) atau banyak bahasa (multilingual). Riset yang dilakukan oleh Swift Key menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga negara bilingual dengan presentase 57.3% dan peringkat pertama trilingual dengan presentase 17.4%[2].
![]() |
Image credit to Swift Key |
![]() |
Image credit to Swift Key |
Fenomena ‘Anak Jaksel’ memang menuai banyak kontroversi. Salah satunya, muncul stigma bahwa mereka yang menggunakan alih kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ini dianggap merusak bahasa Indonesia sebagai identitas ke-Indonesia-an. Hey dude, tak tahukah kamu ada keadaan yang bernama interlanguage? Psikolinguistik, salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang pemerolehan dan produksi bahasa, membahas khusus language acquisition atau akuisisi bahasa. Selama proses akuisisi bahasa khususnya bahasa kedua, sering ditemukan keadaan interlanguage.
Interlanguage adalah sebuah kondisi terciptanya pengetahuan yang bercampur antara bahasa sumber dan bahasa target, yang sering kali membuat penutur mengalami kesalahan ucap (speech error) yakni tip-of-the-tongue (TOT). Saya akui, saya sangat sering mengalami TOT dimana ketika ingin mengatakan satu kata dalam bahasa Indonesia alih-alih yang keluar adalah term bahasa Inggrisnya. TOT tidak hanya dialami oleh kaum bilingual, kaum monolingual pun mengalami hal yang sama. Penelitian Gollan, Bonanni, dan Montoya (2005) mengemukakan sebuah hasil bahwa untuk menyebutkan proper names baik monolingual maupun bilingual mendapatkan jumlah TOT sama.
Mungkin ada yang berargumen bahwa alih kode adalah salah satu bentuk tanda minimnya kosa kata yang dimiliki sehingga mencampuradukkan istilah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris misalnya. Akan tetapi, bukankah absennya kosa kata untuk menggambarkan suatu hal adalah ciri dari bahasa berkembang? Bahkan bahasa mapan semacam bahasa Ingris saja masih melakukan peminjaman istilah (borrowing).
Banyak yang berpendapat bahwa alih kode ini adalah salah satu bentuk pamer kemahiran berbahasa. Bukan, sama sekali bukan. Pernahkah kau berada dalam keadaan dimana kau tau istilah asingnya, tetapi kau tak menemukan padanan katanya bahkan dalam bahasa ibumu? Mempelajari ilmu linguistik khususnya linguistik bahasa Inggris sejak saya masih menempuh pendidikan sarjana menjadikan saya lebih akrab dengan istilah-istilah linguistik dalam bahasa Inggris. Sehingga tak jarang ketika berdiskusi dengan teman, saya akan lebih nyaman menggunakan istilah bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Toh esensi dari berdiskusi dan berkomunikasi adalah sampainya informasi dari penutur ke pendengar. Lantas, akankah diskusi dan komunikasi tersebut berjalan secara efektif jika kita disibukkan dengan mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia?
Dulu semasa kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, akan banyak yang mencibir kami yang mencoba mengasah kemampuan berbahasa dengan menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari – mulai dari sok Inggris, sok pamer, dan sok-sok yang lainnya. Akan tetapi, mereka dengan entengnya akan meminta kami untuk mengoreksi esai bahasa Inggris mereka. Ironi memang. Atau di lain kesempatan, beberapa dari mereka akan curhat tentang keinginannya untuk bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, sedangkan disaat yang sama mencibir mereka yang berbicara menggunakan bahasa Inggris. Kan repot?
Publik banyak menyorot tidak tepatnya penggunaan kata literally atau frasa which is pada gaya tutur ‘Anak Jaksel’. Namun, pernahkah publik mempertanyakan penggunaan kosa kata bahasa Indonesia yang tidak tepat? Membersamai, misalnya. KBBI daring yang dimutakhirkan Oktober 2018 tidak merekam kosa kata membersamai. Akan tetapi, menggunakan mesin pencari Google, muncul 461.000 hasil pencarian dimana ada kata membersamai. Adakah yang pernah mempersoalkan ini?
Teringat beberapa hari yang lalu seorang teman tiba-tiba menanyakan perihal berasisasi yang bahkan saya tidak tahu bahwa kata itu ada. Setelah berdiskusi, saya baru paham bahwa yang ia maksud dengan berasisasi, berbicara secara morfologis, adalah gabungan dari kata beras dan imbuhan -isasi yang berarti proses menjadikan beras sebagai makanan pokok standar. Kata yang bahkan sudah sering digunakan oleh portal berita daring ini pun belum tercatat di KBBI termutakhir. Mungkin yang lebih sering ditemui selama bertukar pesan instant adalah penggunaan kata terinfo. Apa maksudnya terinfo? Sneddon et al., (2010) hanya mencatat penggunaan awalan ter- yang diikuti dengan noun adalah segelintir kata yang biasa digunakan dalam dunia hukum, seperti terdakwa, tergugat, tersangka. Melihat konteks, biasanya kata terinfo ini akan digunakan sebagai kata pembuka untuk menyampaikan informasi terbaru. Jika info adalah kata benda dan dengan menambahkan awalan ter-, lalu apakah kata info akan menjelma menjadi adjektiva, serta mengubah maknanya menjadi info terbaru?
Yang menurut saya paling mengganggu adalah anggapan bahwa mereka yang tidak berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar berarti tidak nasionalis. Dari sini saya mengajak kalian para pembaca untuk merenungi kembali apa makna nasionalisme – saya bahkan lebih memilih menggunakan kosa kata patriotism dari nasionalisme, because nationalism is sometimes scary.
Apakah bahasa menjadi satu-satunya tolak ukur seberapa dalam seseorang mencintai negaranya? Lalu, apakah dengan menggunakan bahasa Indonesia berarti kita menyerah pada etnisitas? Apakah karenanya identitas kesukuan menjadi tidak begitu penting lagi? Atau bahkan identitas itu sudah tidak penting dan menganggap diri kita sebagai warga global saja?
Amsterdam dini hari,
1 November 2018
Melarikan diri dari tugas evaluasi dua proposal PhD
References
Wardaugh, R. (2006). An Introduction to Sociolinguistics. Fifth Edition.Massachussets: Blackwell Publising.
Gollan, T. H.; Bonanni, M. P.; Montoya, R. I. (2005). "Proper names get stuck on bilingual and monolingual speakers' tip of the tongue equally often". Neuropsychology. 19 (3): 278–287. doi:10.1037/0894-4105.19.3.278
Sneddon, J., Adelaar, A., Djenar, D. and Ewing, M. (2010). Indonesian Reference Grammar.Sydney: Allen & Unwin.
[1]Data dapat diakses di https://www.ethnologue.com/country/ID
[2]Data dapat diakses di https://blog.swiftkey.com/celebrating-international-mother-language-day/
0 comments