­
­

I Have a Dream

By Nur Inda Jazilah - Maret 27, 2017

Hi readers!
Post saya kali ini bukan untuk menganalisa lagu legendaris Westlife dengan judul yang sama. Juga bukan untuk mengupas pidato legendaris Martin Luther King Jr, dengan judul yang sama pula. Tenang. Di kesempatan kali ini, saya ingin berbagi cerita jungkir balik saya menggapai salah satu mimpi saya, studi di luar negeri. It’s just because I like to share, will be glad to find out that my story perhaps finally inspires you. Here’s the story . . . . .


Sudah lama saya sebenarnya ingin berbagi cerita perjalanan saya mengejar salah satu mimpi saya, studying abroad. Semua berawal ketika saya duduk di semester, seingat saya, empat. Salah seorang teman kuliah menawari untuk daftar undergraduate student exchange yang diselenggarakan oleh AMINEF. Keinginan untuk bisa mencicipi hidup dan belajar di luar negeri bertambah kuat ketika saya mengikuti mata kuliah Discourse Analysis, yang diampu oleh bapak Ribut Wahyudi. Saya ingat betul beliau berkata, “Gapopolah awakmu lulus rodok telat, sing penting kan duwe sertifikat cangkruk-an ndek Ohio opo ndek endi ngunu (Tidak apa-apa kalian lulus sedikit terlambat, yang penting kalian punya sertifikat nongkrong di Ohio atau somewhere)”. Bulat tekat saya, someday saya harus bisa sekolah ke luar negeri.

Sempat ngobrol dengan Ayah saya (Allahu yarham) terkait keinginan saya ini. Saat itu, beliau hanya terdiam, dan saya tidak bisa mengartikan entah diam itu berarti iya atau tidak. Selang beberapa waktu, saya berdiskusi tentang salah satu mata kuliah agama dengan beliau. Membahas tentang fardhu kifayah, beliau ngendikan, “Koyok sekolah nang luar negeri iku, iku fardhu kifayah. Lek wes ono wong sing wis sekolah rono, ora wajib hukummu melok-melok sekolah rono (Sama halnya dengan sekolah ke luar negeri, jika ada beberapa orang yang sudah bersekolah ke luar negeri, tidak wajib hukumnya bagi kamu untuk ikut-ikutan sekolah kesana)”. Saya baru memahami bahwa sikap diamnya Ayah kala saya mengutarakan niat untuk sekolah ke luar negeri berarti tidak. Satu yang jelas, akhirnya saya sampaikan pada beliau bahwa saya tidak mau lagi bergantung secara finansial untuk melanjutkan pendidikan saya ke jenjang yang lebih tinggi. Saya pikir, tidak ada cara lain untuk bisa melanjutkan pendidikan saya selain melalui beasiswa.

Menjadi scholarship hunters tidaklah mudah, mengingat seperti yang dikatakan teman saya, kita tidak pernah tahu pada percobaan pendaftaran beasiswa kita yang keberapa yang akan di-acc oleh Allah (Mas Fajri, these words are yours!), tidak akan pernah mengira dari mulut mana doa yang akan diijabah oleh Allah (and, these are yours, Mas Ahmad). Oleh karenanya, being mentally strong is a must. Apply, lolos, Alhamdulillah. Atau apply, gagal, repeat. Begitu seterusnya sampai diterima.

Bagi saya, menjadi scholarship hunters ada dua hal yang harus dipenuhi: being well-informed and well-prepared.

First and foremost, be well-informed!
Melek informasi adalah syarat utama. Gimana mau dapet beasiswa kalo kapan pendaftaran dibuka aja ga tau? Kenali sponsor beasiswa yang akan kamu apply, baik itu beasiswa yang disediakan oleh lembaga atau perseorangan –seperti LPDP, MoRA, Menkominfo, atau beasiswa pemerintah negara tujuan seperti AAS, NZAS, Monkubagakusho, StunedTurkey, DAAD, Chevening, AMINEF, dan masih banyak yang lainnya. How can you be well-informed, then? Generasi millennial pasti akrab dengan media sosial, manfaatkanlah! Daripada stalking gebetan atau mantan, yekan? Contohnya, akun instagram @info_beasiswa yang secara reguler membagikan info-info beasiswa terkait deadline pendaftaran dan persyaratannya. You better follow this account, and get the details there.

What’s more, being well-informed seyogyanya dibarengi dengan building network. Saya pribadi beranggapan bahwa building network ini sangat berguna to keep us on the track. Dengan berada diantara pemburu beasiswa lainnya, membuat semangat mengejar cita kita tetap terjaga. Berdasarkan pengalaman saya, cara ini terbukti ampuh. Saya mengalaminya sendiri sekitar satu tahun yang lalu ketika mendapatkan kesempatan kursus English for Academic Purposes dan IELTS Preparation di IALF, Bali.
Diktis 6 Photo Time: Closing Ceremony of EAP course in IALF, Bali
Program yang disponsori secara penuh oleh Kementrian Agama RI ini mempertemukan saya dengan para pemburu beasiswa lainnya. Memiliki visi yang sama, membuat kami secara sukarela berbagi info beasiswa, tips-tips untuk mendapatkan beasiswa, and the most important is to keep motivating and motivated. Cara lain yang mungkin adalah dengan mengikuti komunitas pemburu beasiswa, ada banyak komunitas pemburu beasiswa yang bias kalian gugling langsung di internet.

Moving on to the next step, be well-prepared!
Prior to applying for a scholarship, you, at least, have to be well-prepared linguistically, academically and psychologically.

Untuk bisa melanjutkan studi di luar negeri, pemenuhan kebutuhan penguasaan bahasa sangat krusial. Penguasaan bahasa Inggris adalah mutlak mengingat bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar selama mengikuti kuliah di kelas internasional. Penguasaan bahasa sesuai negara tujuan juga menjadi penting, apalagi jika beberapa mata kuliah tidak diajarkan dalam bahasa Inggris. Bagaimana untuk bisa memenuhi kebutuhan linguistik, khususnya untuk memenuhi profisiensi bahasa Inggris? Saya akan bahas di post terpisah. Semoga sempat dan ga males nulis, haha.

Selain itu, persiapan secara akademis adalah tentang bagaimana cara mempertahankan GPA (IPK) untuk tetap baik. Hal ini semata-mata karena GPA menjadi salah satu persyaratan beasiswa, meskipun bukan satu-satunya. So, if you are currently studying on undergraduate level, you have no other choices but do your best! Selain GPA, persiapan lain yang perlu dilakukan adalah pelajari disiplin ilmu yang akan diambil, in depth. Diatas langit masih ada langit. Begitu juga dengan ilmu, semakin belajar, semakin merasa banyak hal yang belum diketahui dan harus dipelajari. Merujuk salah satu nasihat teman saya, sedialah banyak buku untuk dibaca sebelum kuliah keteteran (Sorry mba Vifah, saya belum bisa melaksanakan nasihat ini ( Ini tidak untuk ditiru, readers!)

Being well-prepared psychologically is necessary, by the way. Terlebih untuk menghadapi tes interview. Pengalaman interview saya, tahun 2015 di batch 2 LPDP, meskipun saya sudah mempersiapkan diri, kegagalan menyapa. Dihadapkan dengan dua interviewer dan seorang psikolog sempat membuat saya blank ketika dihadapkan dengan pertanyaan di luar imajinasi saya waktu itu. Saya berfikir, dengan ini, jatah gagal saya berkurang satu. Kesempatan interview kedua untuk beasiswa luar negeri dari MoRA, Juli 2015, kegagalan kembali menghampiri mengingatkan saya untuk terus mengasah survival instinct ketika menghadapi tes interview. That was the time when I feel mungkin bukan rezeki saya untuk belajar di luar negeri. Kendati demikian, building network yang saya singgung di poin sebelumnya membuat saya kembali menata niat dan semangat untuk merajut asa. Agustus 2016, saya kembali interview untuk beasiswa luar negeri dari MoRA.
Bersama dengan teman-teman seperjuangan sesaat sebelum mengikuti tes MoRA Scholarship di hotel Acacia, Jakarta
Nervous? Jelas! Tetapi saya yakin, peserta lain pun mengalami ketegangan yang sama. Persiapan semacam simulasi interview saya lakoni jauh-jauh hari sebelum D-day. Persiapan mental bukan hanya untuk menjalani interview semata, melainkan rangkaian tes yang saya jalani kala itu berbeda dengan tahun sebelumnya. Applicants harus mengikuti beberapa tes, yakni tes psikologi, on the spot essay writing, dan Leaderless Group Discussion (LGD). Ketidaksiapan pada satu tes, atau rasa tidak percaya diri atas kemampuan kita pada saat tes mungkin ada dan bisa berdampak pada kondisi mental pada saat menghadapi tes selanjutnya. The most important thing is that bangun terus sikap positif pada diri sendiri. Believe you can, and you’re halfway there. Percaya dan yakin bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati proses dan usaha. Menjadi pemburu beasiswa memang harus tahan banting. Alhamdulillah, 15 Agustus 2016, saya resmi dinyatakan lolos seleksi beasiswa luar negeri dari MoRA.

Sudah mulai capek baca tulisan saya? See ya on the next post. Should you have any questions, feel free to drop comments below.

  • Share:

You Might Also Like

6 comments

  1. a very nice inspiring story, dear. Style tulisannya, Jazilah banget :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha Aku aja ga tau model tulisan begini termasuk model apa wakaka

      Hapus
  2. AWESOME JAJIL!!!
    Juga pijakkan kakimu di altar Sorbonne.

    HIDUPLAH SELALU KAWAN!!!

    CALON MERTUAMU BANGGA PADAMU ��������

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga ada kesempatan, meski hanya untuk jalan-jalan ke Sorbonne hehe

      Hapus
  3. semangat yaaaa, baca buku sebelum kuliahnya jangan males males yaaa, with love, Afi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Unfortunately, belum baca juga sampe sekarang. I'll read, kak. Amisyu.

      Hapus